Tampilkan postingan dengan label My Quote. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label My Quote. Tampilkan semua postingan

Senin, 27 Desember 2010

Surat Untuk Firman

From :: E.S Ito
Special for :: Firman Utina cs (TIMNAS GARUDA)

Kawan, kita sebaya. Hanya bulan yang membedakan usia. Kita tumbuh di tengah sebuah generasi dimana tawa bersama itu sangat langka. Kaki kita menapaki jalan panjang dengan langkah payah menyeret sejuta beban yang seringkali bukan urusan kita. Kita disibukkan dengan beragam masalah yang sialnya juga bukan urusan kita. Kita adalah anak-anak muda yang dipaksa tua oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian. Sementara adik-adik kita tidak tumbuh sebagaimana mestinya, narkoba politik uang membunuh nurani mereka. Orang tua, pendahulu kita dan mereka yang memegang tampuk kekuasaan adalah generasi gagal. Suatu generasi yang hidup dalam bayang-bayang rencana yang mereka khianati sendiri. Kawan, akankah kita berhenti lantas mengorbankan diri kita untuk menjadi seperti mereka?

Di negeri permai ini, cinta hanyalah kata-kata sementara benci menjadi kenyataan. Kita tidak pernah mencintai apapun yang kita lakukan, kita hanya ingin mendapatkan hasilnya dengan cepat. Kita tidak mensyukuri berkah yang kita dapatkan, kita hanya ingin menghabiskannya. Kita enggan berbagi kebahagiaan, sebab kemalangan orang lain adalah sumber utama kebahagiaan kita. Kawan, inilah kenyataan memilukan yang kita hadapi, karena kita hidup tanpa cinta maka bahagia bersama menjadi langka. Bayangkan adik-adik kita, lupakan mereka yang tua, bagaimana mereka bisa tumbuh dalam keadaan demikian. Kawan, cinta adalah persoalan kegemaran. Cinta juga masalah prinsip. Bila kau mencintai sesuatu maka kau tidak akan peduli dengan yang lainnya. Tidak kepada poster dan umbul-umbul, tidak kepada para kriminal yang suka mencuci muka apalagi kepada kuli kamera yang menimbulkan kolera. Cinta adalah kesungguhan yang tidak dibatasi oleh menang dan kalah.


Hari-hari belakangan ini keadaan tampak semakin tidak menentu. Keramaian puluhan ribu orang antre tidak mendapatkan tiket. Jutaan orang lantang bersuara demi sepakbola. Segelintir elit menyiapkan rencana jahat untuk menghancurkan kegembiraan rakyat. Kakimu, kawan, telah memberi makna solidaritas. Gocekanmu kawan, telah mengundang tarian massal tanpa saweran. Terobosanmu, kawan, menghidupkan harapan kepada adik-adik kita bahwa masa depan itu masih ada. Tendanganmu kawan, membuat orang-orang percaya bahwa kata “bisa” belum punah dari kehidupan kita. Tetapi inilah buruknya hidup di tengah bangsa yang frustasi, semua beban diletakkan ke pundakmu. Seragammu hendak digunakan untuk mencuci dosa politik. Kegembiraanmu hendak dipunahkan oleh iming-iming bonus dan hadiah. Di Bukit Jalil kemarin, ada yang mengatakan kau terkapar, tetapi aku percaya kau tengah belajar. Di Senayan esok, mereka bilang kau akan membalas, tetapi aku berharap kau cukup bermain dengan gembira.


Firman Utina, kapten tim nasional sepak bola Indonesia, bermain bola lah dan tidak usah memikirkan apa-apa lagi. Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan. Di lapangan kau tidak mewakili siapa-siapa, kau memperjuangkan kegembiraanmu sendiri. Di pinggir lapangan, kau tidak perlu menoleh siapa-siapa, kecuali Tuan Riedl yang percaya sepak bola bukan dagangan para pecundang. Berlarilah Firman, Okto, Ridwan dan Arif, seolah-olah kalian adalah kanak-kanak yang tidak mengerti urusan orang dewasa. Berjibakulah Maman, Hamzah, Zulkifli dan Nasuha seolah-olah kalian mempertahankan kegembiraan yang hendak direnggut lawan. Tenanglah Markus, gawang bukan semata-mata persoalan kebobolan tetapi masalah kegembiraan membuyarkan impian lawan. Gonzales dan Irvan, bersikaplah layaknya orang asing yang memberikan contoh kepada bangsa yang miskin teladan.
Kawan, aku berbicara tidak mewakili siapa-siapa. Ini hanyalah surat dari seorang pengolah kata kepada seorang penggocek bola. Sejujurnya, kami tidak mengharapkan Piala darimu. Kami hanya menginginkan kegembiraan bersama dimana tawa seorang tukang becak sama bahagianya dengan tawa seorang pemimpin Negara. Tidak, kami tidak butuh piala, bermainlah dengan gembira sebagaimana biasanya. Biarkan bola mengalir, menarilah kawan, urusan gol seringkali masalah keberuntungan. Esok di Senayan, kabarkan kepada seluruh bangsa bahwa kebahagiaan bukan urusan menang dan kalah. Tetapi kebahagiaan bersumber pada cinta dan solidaritas. Berjuanglah layaknya seorang laki-laki, kawan. Adik-adik kita akan menjadikan kalian teladan!

Senin, 01 November 2010

Mario Teguh's Quote

Wahai Subuh yang mewadahi
awal dari rezeki kami

Engkau telah menyaksikan
datang dan perginya
kaum-kaum sebelum kami
yang dimuliakan karena kesyukuran
dan yang diturunkan karena keangkuhan

Sesungguhnya
pada pertukaran malam dan siang
dan pada apa yang diciptakan Tuhan
di langit dan di bumi,
benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kita yang bertakwa

Tuhan Yang Maha Kaya,
makmurkanlah kami
karena kesyukuran kami

Amien

Sabtu, 04 September 2010

Rembulan Tenggelam Di Wajahmu (Part. Aku Pertanyaan Ketiga)


Seseorang yang memiliki tujuan hidup, maka baginya tidak akan ada pertanyaan tentang kenapa Tuhan selalu mengambil sesuatu yang menyenangkan darinya, kenapa dia harus dilemparkan lagi ke kesedihan. Baginya semua proses yang dialami, menyakitkan atau menyenangkan semuanya untuk menjemput tujuan itu. Dan dia bertekad menjemput akhir sambil tersenyum, seperti istrimu. Ia meninggal dengan penghujung yang baik. hanya inilah satu-satunya penjelasan bagimu, dari sisi yang ditinggalkan.


By :: Tere-Liye... *my favorite writer*
 
Ray, malam itu, saat karnaval takbir, saat seluruh isi dunia bergembira menyambut hari raya, saat kau tersungkur di sebelah pusara istrimu, aku juga ada disana... Lihatlah, aku menemanimu. Sayang, kau tidak bisa melihatku waktu itu.

Ah, urusan ini memang menyedihkan. Amat menyakitkan. Kau layak bertanya, bagaimana mungkin langit begitu tega mengambil semuanya. Serentak dalam satu tepukan. Hanya menyisakan kau yang jatuh tersungkur, sendiri. Hanya mengembalikkan kenangan-kenangan pahit masa lalu itu. Menusuk-nusuk hati.

Inilah pertanyaan ketigamu, bukan? Kenapa langit tega sekali mengambil istrimu. Kenapa takdir menyakitkan itu harus terjadi?

Ray, pertanyaan ini sulit dijawab. Sulit sekali dijelaskan kalau kau memaksa memahaminya dari sisi yang seperti orang lain coba memahaminya selama ini. Tetapi itu akan menjadi sederhana kalau kau mau melihatnya dari sisi yang berbeda. Sisi yang seringkali kita lupakan.

Kau tahu, hampir semua orang pernah kehilangan sesuatu yang berharga miliknya, amat berharga malah. Ada yang kehilangan sebagian tubuh mereka, cacat, kehilangan pekerjaan, kehilangan anak, kehilangan orang-tua, benda-benda berharga, kekasih, kesempatan, kepercayaan, nama baik, dan sebagainya. Kau kehilangan istri yang amat kau cintai. Dalam ukuran tertentu, kehilangan yang kau alami mungkin jauh lebih menyakitkan. Tetapi kita tidak sedang membicarakan ukuran relatif lebih atau kurang. Semua kehilangan itu menyakitkan.

Appaun bentuk kehilangan itu, ketahuilah, cara terbaik untuk memahaminya adalah selalu dari sisi yang pergi. Bukan dari sisi yang ditinggalkan... Dalam kasusmu, penjelasan ini akan teramat rumit kalau kau memaksakan diri memahaminya dari sisi kau sendiri, yang ditinggalkan. Kau harus memahaminya dari sisi istrimu, yang pergi...

Kalau kau memaksakan diri memahaminya dari sisimu, maka kau akan mengutuk Tuhan, hanya mengembalikan kenangan masa-masa gelap itu. Bertanya apakah belum cukup semua penderitaan yang kau alami. Bertanya mengapa Tuhan tega mengambil kebahagiaan orang-orang baik, dan sebaliknya memudahkan jalan bagi orangorang jahat. Kau tidak akan pernah menemukan jawabannya, karena kau dari sisi yang ditinggalkan. Bukankah itu yang terjadi bertahun-tahun kemudian? Kau tidak pernah bisa berdamai dengan kepergian istrimu.

Ketahuilah Ray, bagi istrimu, sejak pernikahan kalian, maka tujuan hidupnya amat sederhana. kau sering mendengar istrimu berkata, 'Bagiku kau ikhlas dengan semua yang kulakukan untukmu. Ridha atas perlakuanku padamu. Itu sudah cukup' Nah, itulah tujuan hidup baru istrimu. Amat s-e-d-e-r-h-a-n-a.

Kau tahu, istrmu benar-benar ingin menjadi istri yang baik untukmu, menjadi ibu yang baik untuk anak-anakmu. Ia tidak pandai ilmu agama, ia baru belajar itu semua saat kalian menikah. Tapi dia paham sebuah kalimat yang indah, nasehat pernikahan kalian yang disampaikan penghulu: Istri yang ketika meninggal dan suaminya ridha padanya, maka pintu-pintu surga dibukakan lebar-lebar baginya.

Hanya itu yang dipahami istrimu. Tapi ia sungguh-sungguh melaksanakannya. Ia mengubur semua masa lalunya yang kelam. Menguburnya dalam-dalam. Ia ingin kau ikhlas atas semua yang ia lakukan, ia ingin kau menerima ia apa adanya. Ia melayanimu sepenuh hati, menunggumu pulang dengan riang, memaksakan diri tetap terjaga saat kau tiba, memanaskan makan malam, melepaskan dasi, menyiapkan air hangat. Ia ingin kau ridha atas semua perlakuannya.

Kenapa Tuhan selalu mengambil sesuatu yang menyenangkan dari hambanya, kenapa Tuhan melemparkan kau lagi ke dalam kesedihan itu? Malam itu, Ray, Tuhan sungguh tidak sedang menghukummu, malam itu saat rembulan bersinar terang, saat gemintang tumpah-ruah di angkasa menjelang subuh, saat malam takbir hari raya, malam itu, Tuhan sedang tidak mengujimu. Tuhan justru sedang mengirimkan seribu malaikat untuk menjemput istrimu. Sama seperti Diar, istrimu, anak manusia yang gelap masa lalunya, menyakitkan masa kecilnya, shubuh itu menjemput takdir terbaiknya. Takdir langit yang hebat. Bukankah kau ingatsekali saat dia akan meninggal? Kalimat terakhirnya?

Bukankah istrimu waktu itu berkata 'Kau tahu... Aku ingin selalu terlihat cantik di matamu... Aku ingin selalu terlihat cantik.' Ah, hanya wanita mulialah yang bisa mengatakan kalimat sehebat itu, Ray. Dan sungguh sudah mulialah istrimu... Istrimu bertanya di penghujung hidupnya, 'Apakah kau ridha?' Dan kau mengangguk. Maka malam itu seribu malaikat bertasbih turun mengungkung kota. Malikat yang satu sayapnya saja mampu menutupi seluruh cahaya rembulan dan bintang-gemintang. Istrimu menjemput penghujung yang baik, Ray. Inilah jawaban mengapa istrimu harus pergi. Kau harus melihatnya dari sisi istrimu yang pergi, bukan dari sisimu yang ditinggalkan.

Istrimu telah mendapatkan tujuan hidupnya... Dan kejadian itu bagi kau dari sisi yang ditinggalkan, hanya memiliki satu penjelasan, orang-orang dalam hidup sudah seharusnya memiliki tujuan. Yang dengan menyelesaikan tujuan itu maka dia akan tersenyum saat maut menjemput.

Kenapa Tuhan selalu mengambil sesuatu yang menyenangkan dari hambanya, apa semua kesedihan ini kurang menyakitkan? Ray, orang-orang yang memiliki tujuan hidup, maka dia tidak akan pernah bertanya soal ini. baginya semua kesedihan yang dialaminya adalah tempaan, harga tujuan tersebut... Semua orang bisa mendefinisikan tujuan hidupnya. Tidak peduli sekecil apapun itu, yang penting mereka bersungguh-sungguh melakukannya. Mmebuatnya nyata. Ada banyak orang yang tidak memiliki tujuan hidup, hanya terjebak dalam rutinitas harian. Berangkat pagi, pulang sore.

Jumat, 03 September 2010

Rembulan Tenggelam Di Wajahmu (Part. Aku Pertanyaan Kedua)

Apakah hidup ini adil?? YA. Bahkan teramat adil.

Ray, kehidupan ini selalu adil. Keadilan langit mengambil berbagai bentuk. Meski tidak semua bentuk itu kita kenali, tapi apakah dengan tidak mengenalinya kita bisa berani-beraninya bilang Tuhan tidak adil? Hidup tidak adil? Ah, urusan ini terlanjur sulit bagimu karena kau selalu keras kepala.


By :: Tere-Liye ,, *my favorite writer*

Ray, hampir semua manusia pernah mengeluarkan pertanyaan tersebut. Apakah hidup ini adil? Dari jaman batu hingga entah ke mana peradaban manusia akan dibawa. Muda-tua, laki-perempuan, kaya-miskin, sehat-sakit, raja-pelayan, panglima-pesuruh, tidak mengenal ras, suku, agama, tidak mengenal batas-batas. Mereka pasti pernah bertanya, setidaknya sekali sepanjang hidup. Tidak peduli meski orang itu manusia pilihan. Utusan-utusan langit.

Dan terus-terang, Ray. pertanyaan keduamu ini tidak mudah dijawab. Bukan karena jawabannya tidak ada. Sebaliknya, justru karena terlalu banyak. Masing-masing orang mengeluarkan pertanyaan sesuai dengan pemicu kenapa dia sampai bertanya. Maka jawabannya juga harus sesuai dengan pemicunya itu... Dan bagimu, apa yang menimpa Natan bukanlah pemicu terbesar pertanyaan itu. Bukankah begitu, Ray??

Kau bertanya sejatinya karena sepotong koran tua itu, bukan? Berita dalam kertas koran yang menguning. Kau bertanya karena kenangan masa lalu yang tidak pernah terjelaskan... Itulah sejatinya yang membuatmu bertanya, apakah hidup ini adil?

Baik... baiklah, aku akan menjawab pertanyaanmudari muasal kenapa pertanyaan itu muncul, Ray. Ah, mungkin harus selalu beginipertanyaan ini dijawab. Entahlah sampai kapan orang-orang bisa menjawabnya tanpa perlu menelusuri kembali hal-hal tidak kasat mata yang tidak diketahuinya... Baiklah, mari kita telusuri satu-persatu.

Aku tahu, malam itu saat kau memutuskan untuk melakukan apa yang diminta Plee, itu bukan semata-mata karena Plee pintar mengendalikan orang lain. Tetapi karena kau sudah amat sebal dengan pertanyaan-pertanyaanmu. Berkali-kali mengutuk di atas tower air itu, kenapa orang-orang jahat selalu dimudahkan jalannya, kenapa orang-orang baik sebaliknya.

Pertanyaan-pertanyaan tentang kejadian-kejadian di Rumah Singgah. Tiga kejadian... Kau terpaksa pergi dari rumah itu karena perbuatan jahat orang lain, itu yang pertama. Kua menyalahkan begundal-preman itu karena merusak lukisan Ilham, itu yang kedua. kau menyalahkan preman-preman itu karena menghancurkan mimpi-mimpi Natan, itu yang ketiga... Tiga hal yang mengganggu. Meskipun ketiga-tiganya sebenarnya bukan muasal utama kenapa pertanyaan apakah hidup ini adil bagimu. Tetapi ketiga hal itu menjadi katalis, memperbesar pertanyaan intinya. Baiklah... aku akan jawab dulu tiga bagian ini sebelum melanjutkan menelusuri muasal utamanya.

Satu. Kau berkali-kali bilang, kau terpaksa pergi dari rumah itu karena perbuatan jahat orang lain, kau menyalahkan preman-preman itu... Kau keliru, Ray. Siapa yang menyuruhmu pergi? Tidak ada, bukan? Bang Ape? Dia tidak menyuruhmu pergi. Tahukah kau, Bang Ape justru mencarimu sepanjang tahun. Menelusuri bus-bus. Bertanya kesana-kemari. Dia pikir ketika kau pergi dari kantor polisi setelah berteriak-teriak, itu hanya kemarahan sementara, kau akan kembali ke Rumah Singgah.

Bang Ape keliru, kau tidak pernah kembali. Sepanjang tahun Bang Ape dan anak-anak berusaha mencari jejakmu. Jadi siapa yang menyuruhmu pergi? Jiwa muda serba tanggungmu-lah yang terlalu cepat mengambil kesimpulan. Terlalu cepat menyalahkan orang. Oude dan Ouda bahkan jahil membuat pengumuman di sepotong kertas, 'DI CARI! HIDUP ATAU MATI!'.
Kau memang tidak tahu itu, karena kau tidak peduli. Berapa kali kau melihat kertas itu, tapi karena kau tidak peduli, kau bahkan tidak mengenali itu foto wajahmu sendiri.

Dua. Sekarang tentang Ilham. Kasat matanya yang kau tahu Ilham gagal mengikuti pameran besar itu. Kasat matanya kau menyalahkan preman-preman itu. Menyalahkan langit yang membiarkan orang-orang jahat itu. Kata siapa Ilham gagal? Kau tahu, tanpa dirusak sekalipun, Ilham tetap tidak akan bisa ikut pameran lukisan itu. Kenapa? Karena kalian terlalu melebih-lebihkan kemampuan Ilham. Terutama kau dan Bang Ape. Lukisan Ilham biasa-biasa saja. Kalau saja hari itu dia berhasil menyerahkan lukisan itu ke kurator Museum, maka musnah sudah harapannya menjadi pelukis terkenal. Kurator itu  tidak akan pernah lagi mempercayai penilaian Bang Ape. Lukisan itu biasa-biasa saja. Tidak lebih. Tidak kurang.


Sepuluh tahun kemudian, saat Ilham sudah benar-benar siap, kesempatan baiknya baru datang. Kau tidak tahu memang, karena Ilham sepuluh tahun itu selain belajar bagaimana membuat lukisan yang lebih baik, juga mendapatkan bonus dari kegagalan sebelumnya: belajar tentang kerendahan hati. Ilham memutuskan untuk tidak menuliskan nama di setiap lukisannya.


Bukankah di ruang kerjamu yang mnejulang tinggi, di gedung konsorsium bisnis menggutrita milikmu ada satu lukisan yang amat istimewa? lukisan yang kau beli dalam pelelangan . Lelang terbesar dan termahal. Itu lukisan Ilham sebulan sebelum meninggal. Itulah maha-karyanya. Dibuat khusus untukmu. Lukisan purnama yang indah.


Tiga. Tentang Natan. Dia memang kehilangan semua mimpi-mimpinya. Musnah tidak berbekas. Itu kalau kau memahaminya dari sisi yang terlihat. Dia tidak akan pernah menjadi penyanyi. Itu yang terlihat. kasat mata. Tapi tahukah kau, langit memberikan apa yang sebenarnya natan cita-citakan. Apa yang sebenarnya natan ingin lakukan. Kau tahu fakta itu, fakta ayah Natan pergi meninggalkan ibunya... Ibunya meninggal karena sakit hati. Sejak tahu dan mengerti kisah hidup menyakitkan itu, natan bermimpi menjadi seseorang yang bisa menggerakkan hati.


Natan benci sekali dengan Ayahnya, bagaimana mungkin Ayahnya tega meninggalkan mereka. Bagaimana mungkin hati manusia bisa sejahat itu. Dan Natan bermimpi menjadi jalan untuk melumerkan hati orang-orang. Itulah cita-cita terbesar miliknya. Kau tahu bagaimana melumerkan hati orang? Menjadi penyanyi hanyalah satu dari banyak cara, Ray. Dan langit memberikan kesempatan lain yang lebih hebat kepada Natan.


Natan akhirnya menjadi penggubah lagu. Dia menciptakan ratusan lagu yang menginspirasi banyak orang untuk berbuat baik. Banyak orang tidak menyadari lagu yang dinyanyikannya telah menginspirasi dirinya, apalagi untuk menyadari kalau itu lagu Natan. Kau tahu, lagu itu bisa magis sekali. Kekuatan lagu ciptaan Natan tidak akan pernah sehebat itu jika dia hanya menjadi penyanyi. Dengan lumpuh, kehilangan suara, itu justru menjadi energi luar-biasa baginya... Apakah hidup ini menjadi tidak adil bagi Natan?

Selasa, 31 Agustus 2010

Rembulan Tenggelam Di Wajahmu (Part. Aku Pertanyaan Pertama)


*Ketika hidup adalah sebuah siklus sebab-akibat*

By :: Tere-Liye... *my favorite writer*

Ray, tidak ada kehidupan di dunia yang sia-sia.

Kenapa kau harus tinggal di Panti itu? Apakah kau memang tidak pernah memiliki kesempatan untuk memilih? Ray, kebanyakan orang suka sekali bertanya soal ini: apakah kami memang tidak pernah memiliki kesempatan untuk memilih saat akan dilahirkan?  
Baiklah, itu pertanyaan pertamamu, dan kau berhak atas jawabannya...

Bagi manusia, hidup ini juga sebab-akibat, Ray. Bedanya, bagi manusia sebab-akibat itu membentuk peta dengan ukuran raksasa. Kehidupanmu menyebabkan perubahan garis kehidupan orang lain, kehidupan orang lain mengakibatakan perubahan garis kehidupan orang lainnya lagi, kemudian entah pada siklus keberapa, kembali lagi ke garis kehidupanmu... Saling mempengaruhi, saling berinteraksi... Sungguh kalau kulukiskan peta itu maka ia bagai bola raksasa dengan benang jutaan warna yang saling melilit, saling menjalin, lingkar-melingkar. Indah. Sungguh indah. Sama Sekali tidak rumit.

Mengapa kau harus menjalani masa kanak-kanak yang seharusnya indah justru di Panti menyebalkan tersebut? Mengapa? Karena kau menjadi sebab bagi garis kehidupan Diar. Kau menjadi sebab anak ringkih, lemah, dan polos itu menjemput takdir hidup yang bagai seribu saputan pelangi di langit saat kematiannya tiba. Kau menjadi sebab seribu malaikat takjim mengucap salam ketika menjemput Diar di penghujung umurnya yang sayangnya masih amat muda.